INTERAKSI ANAK NORMAL TERHADAP TEMAN ABK KETIKA DI SEKOLAH

TUJUAN

Tujan dari wawancara ini adalah untuk mengetahui interaksi dan pola komunikasi anak normal terhadap teman ABK dalam peer selama mereka disekolah.

DASAR TEORI

Definisi Konseptual

  1. Pengertian Peer

Peer adalah, anak yang memiliki tingkat kedewasaan yang sama atau memiliki rata-rata umur sama. Semakin anak tumbuh dewasa, mereka akan semakin tertarik untuk megahabiskan waktu bersama peernya (Santrock, 2012). Peer atau yang sering disebut dengan teman sebaya merupakan salah satu faktor yang mempegaruhi perkembangan anak. Kemampuan anak untuk bersosialisasi pada masa yang akan datang, sangat dipengaruhi oleh kemampuan peer dalam berkomunikasi saat ini. Terdapat sebuah penelitian kualitas peer dalam peretengahan dan akhir masa anak-anak akan berdampak terhadap kemampuan dalam menjalin hubungan dengan rekan kerja pada fase dewasa awal (Collins & van Dulmen, 2006, dalam Santrock, 2011). Mempunyai hubungan yang posistif dalam peer, menyelesaikan permasalahan dan konflik dalam peer tanpa agresifitas, pada pertengahan dan akhir masa anak-anak, apabila anak-anak sekarang dapat melakukan hubungan yang positif dalam peernya, maka pada masa remaja dan dewasa mereka akan menghasilkan hubungan yang lebih positif juga (Huston & Ripke, 2006 dalam Santrock, 2011).

Saat anak-anak menuju pada tahap pertengahan dan akhir, relasi teman sebaya akan semakin meningkat, dan interaksi dengan teman sebaya tidak begitu diawasi oleh orang tua (Rubin, Bukowski, & Parker, 2006 dalam Santrock 2011). Anak-anak lebih tertarik dalam grup teman sebaya yang meiliki jenis kelamin yang sama hal tersebut terjadi hingga usia sekitar 12 tahun. Anak lebih tertarik untuk bersosialisasi dan bermain bersama anak yang memiliki kemiripan dengan diri mereka sendiri baik kesamaan idea atau jalan pikiran, hobi, dan lainnya. Seperti persahabatan yang dijalani orang dewasa, pertemanan anak pada umumnya memiliki karakter yang sama (Giordano, 2009 dalam Santrock, 2011). Para ahli menyatakan bahwa apabila dalam melakukan interaksi anak lebih tertarik berinteraksi dengan anak lain yang memiliki kemiripan yang sama, maka kemungkinan terdapat kendala dalam interaksi anak normal dan anak ABK.

  1. Fungsi Peer

Peer menyediakan sumber informasi dan perbandingan antar dunia luar mereka dengan hubungan keluarga. Anak akan menerima umpan balik dari dalam kelompok peer mereka, mengevaluasi apa yang telah mereka lakukan dalam artian melakukan lebih baik, sama baiknya, atau lebih buruk dari pada anak lain lakukan, penilaian ini tidak mudah dilakukan di dalam lingkungan rumah karena kebanyakan kamunya lebih lebih muda atau lebih tua (Santrock, 2011).

Perkembangan sosioemosional yang baik, dibutuhkan hubungan peer yang baik (Hartup, 2009; Ladd, 2009 dalam Santrock, 2011). Perlu adanya perhatian khusus dalam hubungan peer pada anak yang menarik diri atau yang memiliki sifat agresif (Rubin & Coplan, 2010; Smith, Rose, & Schwartz-Mette, 2010 dalam Santrock 2011). Anak yang menarik diri atau dipinggirkan yang ditolak oleh peer akan merasa kesepian dan cenderung untuk depresi, sedangkan anak yang agresif dengan peernya akan berisiko membuat masalah, termasuk kenakalan remaja dan drop out sekolah (Prinstein & others, 2009 dalam Santrock, 2011). Apabila anak ABK mendapatkan perlakuan yang buruk atau tidak bisa diterima dalam peernya, mereka akan berisiko untuk deperesi atau melakukan kenakalan. Interaksi dalam peer sangat diperlukan untuk mengurangi terjadinya resiko buruk dan perbuatan negatif.

  1. Status dalam Peer

Terdapat lima status dalam peer menurut ahli perkembangan, diantaranya:

  1. Popular children, anak memiliki banyak teman dan jarang tidak disukai dalam peer
  2. Average children, anak memiliki nilai positif dan negative yang sama dalam peer
  3. Neglected children, anak jarang memiliki teman dan jarang tidak disukai dalam peer
  4. Rejected children, anak memiliki banyak teman sekaligus tidak disukai.
  5. Controversial children, anak memilik banyak teman sekaligus tidak disukai (Wentzel & Asher, 1995, dalam Santrock 2011).

Popular children mempunyai kemampuan bersosialisasi tinggi yang dapat mempengaruhi mereka menjadi disenangi. Mereka memberikan dukungan, pkamui memelihara komunikasi terbuka dengan peer, senang, dapat mengontrol emosi negatif, menjadi diri sendiri, menunjukan empati dan peduli pada yang lain, dan percaya diri tanpa menjadi sombong (Hartup, 1983; Rubin, Bukowski, & Parker, 1998 dalam Santrock, 2011).

  1. Learner with Exceptionalities

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah siswa yang membutuhkan bantuan dan sumber tersendiri agar mencapai potensi mereka (Kaufman, McGee, & Brigham, 2004 dalam Eggen & Kauchak, 2010). Kategori ini termasuk siswa dengan disabilitas, keterbatasan fungsi atau ketidak mampuan melakukan beberapa kegiatan, seperti berjalan atau mendegarkan (Eggen & Kauchak, 2010).

Definisi Operasional

Interaksi dalam peer yang dikemukakan oleh Collins & van Dulmen (2006) pada observasi kali ini akan diukur dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) kontak sosial peer, (2) popularitas peer , (3) persahabatan yang peer, (4) kemampuan sosial peer. Interaksi anak normal dapat dilihat dari aspek komunikasi, kerjasama, dan kekompakan yang di lakukan anak normal terhadap anak ABK ketika di sekolah.

ASPEK DAN INDIKATOR

Interaksi yang dilakukan anak normal terhadap anak ABK ketika mereka bersosialisasi di sekolah.

Aspek I : Kontak Sosial

  1. Subjek mau berbicara dengan teman ABK
  2. Subjek mau bermain dengan teman ABK
  3. Subjek mau bekerja sama dengan teman ABK

 Aspek II : Popularitas

  1. Subjek memiliki teman ABK
  2. Subjek dikenali oleh teman ABK
  3. Subjek digemari dengan teman ABK

Aspek III : Persahabatan

  1. Subjek berteman akrab dengan teman ABK
  2. Subjek memiliki kegemaran sama dengan teman ABK
  3. Subjek peduli dengan teman ABK

Aspek IV : Kemampuan Sosial

    1. Subjek ramah dengan teman ABK
    2. Subjek bergaul dengan teman ABK

Subjek dapat menyesuaikan diri dengan teman ABK

PANDUAN

1. Metode Pengamatan

Metode pengamatan yang digunakan dalam observasi ini adalah metode Time sampling. Time sampling merupakan metode pengamatan terhadap perilaku tertentu sesuai dengan tujuan observasi pada interval waktu tertentu yang telah ditentukan pada frekuensi kejadian perilaku.

2. Metode Pecatatan

Metode pencatatan yang digunakan dalam observasi ini adalah metode observasi naratif dengan menggunakan teknik Specimen descriptions. Specimen descriptions yaitu, pengamatan yang detail dan lengkap, secara kontinyu dengan pencatatan naratif sekuensial terhadap episode tunggal dari perilaku dan keadaan lingkungannya.

SUBJEK

Nama               : HP

Usia                 : 10 tahun

Jenis Kelamin  : Laki-laki

Kelas               : 4 SD

Sekolah           : SD N 1 Tamansari

SETTING WAWANCARA

Hari/Tanggal   : Sabtu, 07 Juni 2014

Tempat            : Aula SD N 1 Tamansari

Waktu             : 09.10 – 09.46 WIB

Pukul 08.30 tim PKM dari fakultas psikologi membuka game edukasi untuk sekolah dasar inklusi. Sebelum game dimulai subjek tampak antusias mengikuti acara yang diadakan tim PKM, setelah pembagian kelompok subjek segera membetuk lingkaran sesuai intruksi dari fasilitator game. Subjek satu kelompok dengan teman sekelas ABKnya, dari tingkah subjek nampaknya tidak ada masalha dia berada satu kelompok dengan ABK begitu juga dengan anak lainnya (normal) merea tidak ada yang merasa terganggu atau canggung berada satu kelompok dengan teman ABK. Fasilitator mulai memberikan intruksi game, subjek dan teman satu kelompoknya termasuk teman ABK memperhatikan dengan seksama. Kemudian setelah intruksi, fasilitator PKM memberikan properti game, subjek tampak antusias dan penasaran dengan property game yang diberikan fasilitator, subjek mengajak teman satu kelompoknya berbicara mengenai game apa yang akan mereka lakukan dari selembar kertas karyon dan potongan kertas warna-warni yang bertuliskan huruf kapital. Subjek juga mengajak teman ABK berbicara dan berdiskusi namun tidak seintensif dengan teman lainnya dikarenakan subjek dan teman ABK berasal dari kelas yang berbeda, jadi subjek kurang begitu mengenal teman ABK.

Ketika game dimuai subjek tampak aktif mengintruksikan huruf apa yang harus ditempel, subjek juga memperlakuakan teman ABK sama seperti teman normal lainnya. Teman satu kelompok subjek termasuk teman ABK mengikuti intruksi subjek. Setelah kelompok subjek menyelesaikan game, subjek dengan semangat melompat dan bersorak sambil mengangkat kertas karton member tanda bahwa kelompoknya yang pertama menyelesaikan game tersebut. Ketika fasilitator datang membawa kamera, subjek menarik teman ABK yang tampak diam untuk ikut foto bersama satu kelompok.

Pukul 09.00 game pertama selasi dan dilanjutkan istirahat dan memakan snack yang disediakan oleh fasilitator. Ketika kelompok subjek tidak mendapatkan snack yang sesuai dengan jumlah anggota, subjek memiliki inisiatif berlari kedepan dan meminta snack kepada fasilitator yang tengah membagikan snack pada teman kelompok lain, subjek kembali dengan membawa sejumlah snack dan membagikannya kepada teman satu kelompok yang belum mendapatkan snack terasuk teman ABK. Teman ABk mengucapkan terimaksaih kepada subjek, subjek men jwabnya smbil tersenyum kemudian mereka terlibat dalam pembicaraan, namun hanya berlansung sebentar, subjek menanyakan sesuatu kepada teman ABK. Emapta nak normal dalam kelompok tersebut juga mengajak teman ABK yang cenderung lebih tenang berbicara.

Pukul 09.15 game kedua dimulai pada game ini subjek tidak begitu mendominasi kelompok seperti game pertama, namun subjek tetap terlihat aktif mengikuti permainan. Game ke dua menaruh mendera yang telah diberi nama kota pada peta Negara Indonesia yang telah disediakan fasilitator, subjek menaruh salah satu bendera pada peta, kemudian teman ABK memanggil nama subjek, subjek meresponnya dengan menoleh. Teman ABK mengatakan bahwa subjek salha menaruh bendera, subjek tidak begitu merespon namun subjek mengikuti arahan teman ABK, dimana bendera itu seharusnya diletakan pada peta.

ANALISIS

Responden merupakan siswa yang aktif dan komunikatif terhadap teman-temannya, ia tidak membeda-bedakan siswa satu dengan lainya. Ketika bekerja kelompok dalam sebuah permainan responden tidak mendominasi sendiri, responden melibatkan temannya untuk berperan aktif juga. Responden merupakan siswa yang ceria dan selalu bersemangat dalam bekerja kelompok, ketika pemandu sedang menjelaskan responden bersikap mendengarkan dan juga memperhatikan instruksi dari pemandu.

Dalam observasi yang dilakukan peneliti, responden berperan dan melakukan komunikasi dengan siswa yang bisa dikatakan ABK, ketika permainan game education diberikan oleh pemandu responden mengarahkan temannya untuk memberikan tugas atau bagian apa yang seharusnya dilakukan teman-temannya. Responden tidak berpilih-pilih dalam pertemanan hal tersebut tampak ketika responden berkomunikasi dengan anak yang cenderung ABK, dalam permainan tersebut semua siswa yang berada dalam kelompok tersebut terlibat aktif, dalam hal ini responden dan siswa lainnya memiliki perkembangan yang baik sesuai dengan Hartup, 2009; Ladd, 2009 dalam Santrock, 2011 bahwa perkembangan sosioemosional yang baik, dibutuhkan hubungan peer yang baik.

Responden tersebut memiliki teman ABK dan dikenali oleh teman ABKnya juga hal tersebut terlihat ketika responden sempat menggenalkan teman siswa yang ABK, dan siswa yang mengalami ABK tersebut memanggil nama responden disaat waktu permainan sedang berlangsung, namun hal tersebut hanya sekilas mengenal tidak terlalu mendalam respondennya sendiripun tampak sangat aktif ia tidak memperhatikan dari satu-kesatu tapi secara keseluruhan, hal ini responden tergolong popular children, yaitu anak memiliki banyak teman dan jarang tidak disukai dalam peernya (Wentzel & Asher, 1995, dalam Santrock 2011).

Pertemanan antara responden dan siswa ABK tidak terlalu tampak erat akrab, mereka terlihat hanya saling mengenal satu sama lain, dan kedekatan mereka tidak tampak karena komunikasi antara responden dan siswa ABK terlihat rentang atau jarang, akan tetapi responden peduli terhadap kelompokknya ia berkomunikasi dengan semuanya namun komunikasi yang dilakukan kuranglah intensif, komunikasi responden dengan siswa ABK dan siswa lainnya sama tidak membeda-bedakan.

KESIMPULAN

Dari hasil observasi dapat diambil kesimpulan bahwa responden termasuk siswa yang aktif, yang mau berteman dengan siapa saja tanpa membedakan satu dengan yang lain. Komunikasi yang dilakukan responden tidak selalu merujuk pada satu orang, tapi kepada teman-temanya termasuk siswa ABK. Hubungan responden dan teman lainya mereka saling mengenali dan mengerti.
Abil, Hindra 🙂

Posted in Psikologi | 2 Comments

Kepemimpinan Transformasional Pada Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

LATAR BELAKANG

Perkembangan zaman membuat banyak perubahan terhadap dunia, termasuk salah satunya adalah adanya permasalahan kepemimpinan baik di kalangan pejabat maupun mahasiswa. Pemimpin yang dianggap bisa memimpin adalah pemimpin yang memiliki pengaruh besar terhadap lingkungan, dapat menginspirasi anggotanya, dan bisa mengayomi masyarakatnya secara keseluruhan. Namun pada kenyataan yang ada masih banyak para anggota yang merasa tidak terayomi khususnya di kalangan mahasiswa Universitas Gadjah Mada dalam kepemimpinan tersebut proses interaksi yang terjadi hanya sebatas menjalankan program kerja yang ada, kelekatan antara pemimpin dan anggotanya belum bisa terjalin secara emosional karena kebutuhan anggota baik secara pribadi maupun organisasi merasa belum terpenuhi, hal tersebut tidak sesuai dengan teori yang ada “Pemimpin mampu memahami kebutuhan anggota dan membuat mereka merasa dihargai serta dipahami” (Judge dan Piccolo, 2004).

Organisasi semakin terasa sunyi ketika proses interaksi yang terjadi baik antara anggota dengan anggota maupun pemimpin dengan anggota tidak memiliki pengaruh yang ideal, yang penting semua berjalan sesuai program kerja saja tanpa mempertimbangkan pemimpin mampu atau tidak untuk mendorong kepada anggotanya menjadi pengikut yang dapat termotivasi oleh pemimpinya. Ruang proses untuk berdialektika dalam sebuah organisasi semakin lama semakin menghilang karena dari gaya kepemimpinan yang berbeda-beda selain itu permasalahan lain banyak anggota yang tiba-tiba tidak terlihat dan tidak ada kejelasan, semua itu bisa terjadi karena model kepemimpinan atau seorang pemimpin yang tidak dapat memahami dan menghargai anggotanya.

Padahal idealnya seorang pemimpin adalah tidak hanya mampu memimpin dirinya sendiri dan menjalankan tugas dari program kerja, namun seorang pemimpin juga harus bisa memimpin anggotanya dengan berinteraksi atau berkomunikasi dengan baik sehingga dapat memberikan pengaruh bagi organisasi dan anggotanya selain itu juga pemimpin harus dapat memberikan motivasi dan dapat menginspirasi anggota secara keseluruhan. Maka dari itulah, gaya kepemimpinan transformasional menjadi satu variabel yang menarik untuk diukur di kalangan mahasiswa Universitas Gadjah Mada.

DASAR TEORI

Definisi Teoritis

Menurut James MacGregor Burns kepemimpinan transformasional adalah proses dimana orang terlibat dengan orang lain dan menciptakan hubungan yang meningkatkan motivasi dalam diri pemimpin dan anggota. Sedangkan dalam Jurnal Leadership and Adolescent Girls a Qualitative Study of Leadership Development kepemimpinan transformasional dicirikan sebagai perspektif yang lebih inklusif dan berfokus pada proses menjadi seorang pemimpin, serta menggerakkan individu dari posisi pengikut menjadi seorang pemimpin. Gaya kepemimpinan transformasional didasarkan pada pemimpin yang menggunakan pengaruh ideal, motivasi yang menginspirasi, rangsangan intelektual, dan pertimbangan yang disesuaikan dengan individu. Wanita (pada meta-analisis milik Eagly dkk., 2001), melebihi pria pada skala Transformational Leadership.

Aspek

Judge dan Piccolo (2004) menyebutkan bahwa kepemimpinan tradisional memiliki empat dimensi atau aspek yaitu :

  • Idealized influenced (pengaruh ideal) :

Pemimpin memiliki pengaruh yang besar dan mendapatkan kesan yang baik dari orang sekelilingnya.

  • Inspirational motivational (motivasi yang menginspirasi) :

Pemimpin mampu memberikan motivasi dan menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekelilingnya.

  • Intellectual stimulation (rangsangan intelektual) :

Pemimpin mampu mendorong dan merangsang anggotanya untuk menjadi   kreatif dan berani mengambil resiko atas segala keputusan yang telah dibuatnya.

  • Individualized consideration (pertimbangan yang diadaptasi) :

Pemimpin mampu memahami kebutuhan anggota dan membuat mereka merasa dihargai serta dipahami.

Validitas dan Reliabilitas

Validitas yang digunakan dalam penyusunan skala kepemimpinan transformasional ini adalah validitas isi dan validitas konkuren (eksternal). Validasi isi bertujuan untuk melihati relevansi aitem dengan indikator keperilakuan dan dengan tujuan ukur sebenarnya. Pada validitas isi kami meminta kesediaan beberapa penilai yang kompeten (professional judgement) untuk membantu memberikan penilaian apakah aitem yang telah kami susun relevan dengan tujuan ukur skala.

Validitas isi yang kami gunakan adalah koefisien validitas isi Aiken dan koefisien validitas isi CVR (Content Validity Ratio). Koefisien validitas isi Aiken didasarkan pada panel ahli sebanyak n orang terhadap suatu aitem mengenai sejauh mana aitem tersebut mewakili konstruk yang diukur. Penilaian dilakukan dengan cara memberikan angka antara 1 (sangat tidak mewakili atau sangat tidak relevan) sampai 5(sangat mewakili atau sangat relevan). Rentang angka V yang mungkin diperoleh adalah antara 0 sampai dengan 1,00.

Rumus validitas Aiken dapat ditulis sebagai berikut :

V =

          Keterangan :

          lo = angka penilaian validitas yang terendah (dalam hal ini = 1)

          c = angka penilaian validitas tertinggi (dalam hal ini = 5)

          r = angka yang diberika oleh penilai

          s = r – lo

          n = banyaknya penilai

Validitas CVR, para ahli (Subject Matter Experts atau SME) diminta untuk menyatakkan apakah aitem dalam skala sifatnya esensial bagi operasionalisasi konstrak teoritik skala yang bersangkutan. Aitem dinilai esensial apabila aitem tersebut dapat mewakili tujuan pengukuran dengan baik. Penilaian SME menggunakan lima tingkatan skala mulai dari 1 (sama sekali tidak esensial atau tidak relevan) sampai dengan 5 (sangat esensial dan sangat relevan). Angka CVR bergerak antara -1,00 sampai dengan +1,00. Apabila CVR bernilai 0,00 berarti 50% dari SME dalam panel menyatakan aitem adalah esensial dan oleh karena esensial aitem itu menjadi valid. Rumus validitas CVR dapat ditulis sebagai berikut :

CVR = (2ne / n) – 1

          Keterangan :

          ne = Banyaknya SME yang menilai suatu aitem esensial

          n   = Banyaknya SME yang melakukan penilaian

Validasi konkuren yang juga sering disebut validitas eksternal merupakan syarat pembuatan skala yang paling ideal. Dengan memvalidasi skala menggunakan validitas eksternal, kita mampu memperoleh korelasi antara skala yang kita buat dengan ukuran lain sebagai kriteria (criterion-related validity). Apabila kita menghitung koefisien korelasi antara hasil ukur skala tersebut dengan hasil ukut instrumen lain yang sudah teruji dan terpercaya kualitasnya atau dengan ukuran-ukuran yang dianggap dapat menggambarkan aspek yang diukut tersebut secara reliabel dapat menggambarkan aspek yang diukur tersebut secara reliabel. Dalam validitas eksternal, kelompok kami menggunakan skala Self-Esteem untuk memperoleh hasil validasi eksternal.

Reliabilitas berbicara tentang kecermatan hasil pengukuran dari sebuah alat ukur, dalam hal ini, skala psikologi. Dengan diketahuinya reliabilitas, akan dapat diinterpretasikan pula apakah hasil pengukuran dari skala psikologi yang disusun dapat dipercaya atau tidak. Ada berbagai macam prosedur dalam melakukan uji reliabilitas namun dikarenakan skala kami berupa single-trial administration, dimana suatu alat ukur dikenakan sekali kepada sekelompok subjek, maka prosedur uji reliabilitas yang sesuai adalah koefisien cronbach-alpha dan beberapa koefisien lain yang serupa.

Prosedur dalam uji reliabilitas jenis single-trial administration membutuhkan prosedur pembelahan alat ukur baik secara acak maupun dengan aturan tertentu seperti pembelahan ganjil-genap (aitem bernomor ganjil dengan aitem bernomor genap). Usai pembelahan aitem dilakukan kemudian skor-skor aitem dikomputasi hingga menemukan koefisien reliabilitas.

METODE PENELITIAN

Definisi Operasional

Kepemimpinan transformasional adalah gaya pemimpin berinteraksi dengan anggota dimana pemimpin memiliki pengaruh yang besar terhadap anggota, pemimpin dapat memotivasi anggota dan menjadi inspirasi bagi anggota, pemimpin mendorong anggota untuk mengembangkan kemampuan intelektual, serta pemimpin memberikan pertimbangan-pertimbangan yang disesuaikan dengan kebutuhan anggota.

Subjek

Penyusunan skala ini mengambil subjek mahasiswa Universitas Gadjah Mada dengan karakteristik pernah menjadi pemimpin seperti ketua organisasi, ketua panitia ataupun koordinator panitia. Total subjek yang diambil adalah 71 orang mahasiswa.

Blueprint

ASPEK

INDIKATOR

BOBOT (%)

Idealized Influenced

  1. Memiliki performa

33

  1. Memiliki karisma
  2. Memiliki gaya komunikasi persuasif
 

Inspirational Motivation

  1. Memiliki visi

22

  1. Dedikasi yang patut diteladani

Intellectual Stimulation

  1. Mendorong anggota untuk kreatif

22

  1. Mendorong anggota untuk mengambil risiko yang tepat

Individualized Consideration

  1. Memperhatikan kebutuhan anggota

22

  1. Membuat anggota merasa dimengerti dan dihargai

TOTAL

100

 

Validitas dan Reliabilitas

  1. Validitas Isi

Untuk menguji validitas isi skala, dilakukan expert judgement dengan lima orang mahasiswa S2 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada sebagai expert. Penilaian dilakukan dengan memberi nilai pada aitem berkisar dari angka satu (1) yang menandakan aitem sangat tidak mewakili indikator perilaku variabel hingga angka lima (5) yang menandakan aitem sangat mewakili indikator perilaku. Hasil penilaian kemudian dikomputasi dengan formula Aiken dan Lawshe’s CVR untuk menemukan koefisien validitas isi (hasil komputasi terlampir). Aitem dengan nilai dibawah 0.3 (untuk Aiken) dan nilai negatif (untuk CVR) kemudian dieliminasi.

  1. Validitas Eksternal

Pengujian validitas eksternal menggunakan kriteria lain berupa skor skala psikologi. Skala psikologi yang digunakan adalah skala yang mengukur harga diri atau self-esteem (Azwar, 1979). Skala self-esteem tersebut kemudian disajikan bersama dalam satu bendel dengan skala kepemimpinan transformasional. Skoring skala menggunakan angka yang berkisar dari angka satu (1) untuk pilihan Sangat Tidak Sesuai (STS) hingga angka lima (5) untuk pilihan Sangat Sesuai (SS) pada aitem favorabel. Sementara untuk aitem unfavorabel berlaku sebaliknya, dimana angka satu (1) untuk pilihan SS dan angka lima (5) untuk pilihan STS.

  1. Reliabilitas

Uji reliabilitas untuk skala dilakukan dengan menggunakan komputasi koefisien alpha cronbach dengan pembelahan tiga bagian dikarenakan aitem berjumlah ganjil (27 buah). Selain komputasi koefisien alpha cronbach yang melalui program SPSS, dilakukan juga uji reliabilitas manual dengan menggunakan komputasi spearman-brown prophecy.

  1. Daya Diskriminasi

Daya diskriminasi aitem skala, diuji menggunakan formula korelasi aitem total (korelasi product-moment Pearson). Meski jumlah aitem cukup banyak atau lebih dari 30 aitem, uji daya diskriminasi tetap dikoreksi untuk mengurangi efek spurious overlap sehingga ditemukan korelasi aitem total yang telah dikoreksi (riX). Aitem yang memiliki nilai korelasi di bawah 0.3 kemudian dieliminasi.

PEMBAHASAN

Pembuatan skala ini bertujuan untuk mengembangkan instrumen guna mengukur kompetensi seseorang dalam memimpin suatu organisasi maupun kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Selain skala kepemimpinan yang kami buat, kami juga menggunakan skala self-esteem untuk mendukung validitas skala.

Langkah pertama yang kami lakukan adalah mencari teori yang berkaitan dengan kepemimpinan transformasional untuk mendapatkan definisi teoritis serta defini operasional. Pada tahap ini, kepemimpinan tranformasional dijabarkan menjadi aspek-aspek, yaitu idealized influenced, inspirational motivational, intellectual stimulation, individualized consideration. Aspek-aspek ini menjadi acuan untuk menentukan indikator-indikator yang merujuk pada perilaku kepemimpinan tranformasional. Indikator sendiri diperoleh melalui wawancara yang dilakukan pada mahasiswa yang pernah atau sedang menjadi pemimpin dalam suatu organisasi maupun kegiatan. Berdasarkan wanwacara terhadap 6 orang mahasiswa, aspek-aspek tersebut berhasil dijabarkan menjadi 9 indikator dengan 81 aitem untuk mengantisipasi aitem-aitem dengan koefisien validitas isi dan daya diskriminasi yang rendah. Selanjutnya aitem-aitem ini direview oleh 5 orang professional judge yang berasal dari mahasiswa magister profesi/sains Fakultas Psikologi UGM. Tahap ini merupakan langkah awal dalam menentukan validitas isi. Setelah itu, validitas isi diukur menggunakan koefisien validitas Aiken dan CVR. Hasil komputasi validitas CVR menunjukkan banyak aitem yang gugur yaitu sebanyak 36 aitem dan hanya menyisakan 18 aitem. Hal ini disebabkan karena banyak aitem yang kurang esensial dan tidak mencerminkan indikator yang ada. Sementara itu hasil komputasi koefisien validitas aiken menunjukkan bahwa setiap aitem memiliki koefisien diatas 0.3, dengan koefisien tertinggi sebesar 0.85 dan terendah sebesar 0.4. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada aitem yang gugur berdasarkan komputasi koefisien validitas aiken. Sementara Oleh karena itu, kami menggunakan hasil komputasi validitas aiken daripada CVR karena hasil komputasi validitas aiken lebih memenuhi kriteria yang diinginkan.

Jumlah aitem yang kami targetkan pada skala adalah sejumlah 27 aitem. Namun untuk mengantisipasi banyaknya aitem yang gugur diperlukan sedikitnya dua kali lipat jumlah aitem. Oleh karena itu dari sejumlah 81 aitem yang lolos kami mereduksi aitem menjadi 54 aitem dengan cara mengambil 6 dari 9 aitem dari setiap indikator (9 indikator). Selanjutnya 54 aitem ini kami uji cobakan kepada 71 mahasiswa dengan kriteria pernah atau sedang menjadi pemimpin dalam suatu organisasi atau kegiatan.

Hasil uji coba kemudian diukur daya diskriminasi aitemnya atau rix dengan mencari koefisien alpha menggunakan SPSS. Tujuannya adalah untuk membedakan mana aitem yang mampu mengukur kepemimpinan dengan baik dan mana yang tidak. Aitem dengan koefisien alpha yang tinggi menunjukkan bahwa aitem tersebut berfungsi dengan baik. Hasil perhitungan menunjukkan sebanyak 6 aitem memiliki koefisien dibawah 0.3, sehingga aitem tersebut dinyatakan gugur. Aitem-aitem tersebut adalah a8, a9, a16, a46, a49, dan a50. Koefisien alpha tertinggi yang dicapai oleh aitem adalah sebesar 0.638.

Langkah selanjutnya yang dilakukan untuk mendapatkan aitem yang relevan adalah dengan menggunakan validitas eksternal aitem atau riy, yaitu mengkorelasikan skala kepemimpinan transformasional dengan skala self esteem milik Rosenberg (1965) dalam Azwar (2014) yang telah diadaptasi Azwar (1979, dalam Azwar 2014). Korelasi aitem yang dianggap relevan adalah yang memiliki nilai riy lebih dari 0.3. Hasil korelasi yang telah dihitung menggunakan SPSS menunjukkan koefisien korelasi aitem total terendah adalah 0.056 dan tertinggi 0.527. Terdapat sejumlah 21 aitem yang nilai koefisien korelasinya kurang dari 0.3. Aitem-aitem tersebut adalah a4, a5, a6, a7, a10, a11, a12, a21, a22, a24, a28, a33, a35, a37, a39, a40, a41, a42, a43, a44, dan a 47. Asumsi penyebabnya berdasarkan hasil korelasi aitem adalah aitem-aitem kepemimpinan transformasional tersebut tidak memiliki hubungan yang kuat dengan harga diri.

Sejumlah 21 aitem merupakan jumlah yang cukup banyak untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan self esteem. Berdasarkan jurnal berjudul A Study of Women and the Relationships among Self Esteem, Self Efficacy, Androgyny, and Transformational Leadership Behavior menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara self esteem dengan kepemimpinan transformasional, dan secara tidak langsung self esteem merupakan prediktor terhadap gaya kepemimpinan (Younger, 2002). Setelah dibaca kembali ternyata terdapat perbedaan antara hasil jurnal tersebut dengan hasil analisis skala kami. Perbedaan ini bisa jadi disebabkan karena perbedaan subjek pada jurnal dengan subjek pada skala. Subjek jurnal merupakan orang-orang yang telah bekerja di sebuah instansi dan perusahaan sedangkan subjek kami ialah mahasiswa yang belum bekerja. Selain itu bisa juga disebabkan karena kesalahan-kesalahan dalam penulisan aitem.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil akhir menunjukkan sejumlah 27 aitem yang tersisa atau sesuai dengan aitem yang ditargetkan di awal. Namun setelah melihat kembali blueprint, kami mendapatkan bahwa 27 aitem tersebut tidak tersebar secara merata di setiap indikator karena terdapat dua indikator yang keseluruhan aitemnya gugur setalah dihitung menggunakan rix maupun riy. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh hal-hal seperti:

  1. Kurang sesuainya aitem dengan indikator
  2. Bahasa yang digunakan dalam penulisan aitem kurang operasional dan terkesan ambigu
  3. Adanya kesalahan dalam memasukkan aitem ke dalam indikator (human error)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Skala kami memiliki total aitem sesuai dengan target yang kami inginkan yaitu 27 buah aitem. Namun terdapat dua indikator yang tidak terwakili oleh aitem akhir. Skala akhir tersebut memiliki kriteria;

  1. Reliabilitas yang baik ditunjukkan dengan nilai koefisien reliabilitas sebesar 0.942.
  2. Validitas yang baik ditunjukkan dengan nilai koefisien validitas isi (Aiken) tertinggi sebesar 0.85 dan koefisien validitas eksternal tertinggi sebesar 0.638.

 Saran

Saran yang kami ajukan adalah agar dalam penyusunan aitem lebih memerhatikan ketelitian terutama dalam mencocokkan aspek dan indikator dengan aitem. Selain itu agar lebih memerhatikan proses operasionalisasi konstruk teoretik sehingga gugurnya aitem akibat kurang atau sedikitnya tingkat kekonretan aitem dapat dihindari.

Abil, Elya, Ardyta, Aliya, Della 🙂

Posted in Psikologi | Leave a comment