“Apabila salah seorang diantara kalian menjadi seorang pemimpin dan Allah Swt menghendaki suatu kebaikan padanya, maka Allah Swt akan menganugerahkannya seorang wakil (pembantu) yang shaleh. Wakil tersebut akan mengingatkan suatu pekerjaan yang dilupakannya, dan membantunya dalam mengerjakan pekerjaan tersebut.” (HR. Sunan Tirmidzi)
Rasulullah Saw diperintahkan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya kepada umatnya. Setelah beliau wafat, maka mereka berpegang teguh pada apa yang tertera pada Al-Qur’an, ketika suatu masalah tidak terdapat di dalam Al-Qur’an, maka mereka mencari pemecahan masalah tersebut di dalam sunnah (Hadits-hadits Rasulullah Saw) dan mengamalkannya. Akan tetapi, apabila dengan sunnah-sunnah tersebut juga tidak dapat terpecahkan, maka mereka berijtihad dengan qiyas dan pendapat yang telah disepakati.
Pada masa keislaman yang paling utama adalah di zaman para Sahabat. Mereka merupakan bintang-bintang Hidayah. Mereka mendapatkan ilmu dan hikmah langsung dari sumbernya, yaitu Rasulullah Saw. Mereka sangat mengerti dan memahami permasalahan-permasalahan tentang Islam yang ada saat itu. Ilmu tafsir Qur’an bersumber dari mereka, Hadist-hadits Rasulullah Saw juga diperdengarkan dari mereka, serta Hukum-hukum Agama Islam pun dipelajari dari mereka. Apakah pantas untuk kita mengkritik perilaku mereka yang telah mengajarkan kaidah-kaidah ilmu Agama Islam kepada kita semua?
Perbedaan pendapat para sahabat, bukan semata-mata mengharapkan kehidupan duniawi belaka, melaikan dikarenakan mereka selalu berijtihad. Hati mereka selalu diliputi dengan cahaya dan kecintaan kepada Rabb-Nya yang murni dan tulus, sehingga mereka jauh dari politik yang tidak sehat. Kalaupun dalam pendapatnya terkadang menimbulkan kontrofersi, akan tetapi ketika mereka benar-benar telah mengerti hakikat dari suatu permasalahan, mereka akan langsung merefisi pendapatnya itu sehingga terjalinlah sebuah kesepakatan.
Maka dengan jalan inilah telah terbuka satu pintu ijtihad dalam Islam pada generasi pertama. Baik para sahabat, maupun mujtahid yang lain, apabila mereka telah bersepakat pada suatu masalah, maka tidak ada lagi keraguan padanya. Dan inilah yang disebut dengan “Ijma’ Ummat”.
Seandainya pada suatu masalah tidak ada kesepakatan, maka para Alim Ulama melakukan ijtihadnya yang terbaik. Setiap mujtahid berijtihad dengan pendapatnya. Dikarenakan kaum muslimin adalah Tabi (yang mengikuti), maka mereka mengamalkan apa yang telah diijtihadkan oleh para mujtahid.
Pada hari ketika Rasulullah Saw wafat, Hadist yang menjelaskan masalah siapa yang kemudian akan menjadi khalifah pengganti Rasulullah pun tidak terbuka jelas, maka terjadilah ikhtilaf di kalangan para Sahabat. Para sahabat bergerak dalam satu barisan yang sama pada konsep-konsep islam untuk mendapatkan kekuatan yang diharapkan dengan cara mencari jalan yang tepat.
Hasil dari Ijma’ nya para Sahabat setelah sepeninggal Rasulullah Saw adalah dengan terbentuknya sebuah Kehalifahan Islam yang menjadi sebuah ke-pemerintahan. Dan tidak ada yang bisa menandingi ke-Khalifahan Islam tersebut dari segi hukum-hukum yang diberlakukan. (Qisas Anbiya)