Sebuah Metafora
Ditengah ketika H-14 menuju ujian kompetensi, tiba-tiba saya yang notabene tidak bisa menulis mau tidak mau harus menulis. Sharing dan cerita rasanya lebih menyenangkan, namun sepertinya ada yang lebih memilih untuk membaca tulisan daripada mendengarkan.
Faktor usia barangkali yang membuat memori saya berat untuk sekedar mengingat kapan pertamakali mengenal sosokmu. Pokoknya sekitar pertengahan masa putih abu-abu pada event-event pejuang seni kali yaaa, saat aku masih berpura-pura jaim sebagai senior duluan belum menjadi saya. Inti pada akhirnya, ada junior yang ternyata juga pemikat seni saat itu.
Pada perjalanan yang lebih tergambar dari sosokmu adalah semangat atau semacam ghairah yang besar pada hal-hal sederhana. Mungkin sekolah dan profesi akademik bukan satu-satunya tujuan, ada beberapa ambisi disana. Entah semacam pembuktian diri atau sekedar mimpi yang sederhana yang mengandung misi.
Intelektual saja memang tidak ada artinya, ini juga mungkin salah satu prinsip hidupmu, sehingga prosesnya lebih banyak tentang sosial, kepemimpinan dan spiritual. Banyak hal yang saya pelajari dari seorang Abil Firdaus.
Semuanya baik-baik saja bahkan setelah namamu berubah menjadi lebih familiar bagiku. Entah wangsit dari mana yang menginspirasimu. Jika ini sebuah opera, semoga tidak ada dialog yang menggangumu. Tapi jika ada, anggap saja aku tidak sengaja. Jujur saja aku tidak ingat isi dialog terakhir waktu itu, barangkali sempat, ingatkan aku.
Selang empat lima tahun kemudian tidak banyak yang berubah. Kebiasaan baik berkabar membuatku tahu banyak hal yang sudah kau lakukan di tanah Jogja. Semangat bermimpi, berbagi dan tanpa henti menginspirasi. Tetaplah seperti itu mengingatkan nurani tentang tujuan awal hidup ini.
Kadang, semangat dan mimpimu terkesan idealis. Idealis mungkin hanya klise bagi orang yang enggan berusaha sedikit lebih keras dari sebelumnya, atau juga sebuah pengingat agar langkahmu lebih realistis saja. Ah tidak apalah, itulah dirimu, hidup ini opera singkat tentang perjuangan panjang, harus ada lakon idealis ditengah krisis khidmah dalam hati Santri Negeri ini.
Sampai di titik ini, aku setuju dengan pilihanmu. Pilihan untuk ingin terus berproses tentang apapun itu. Lelah hanya selingan saja jika melihatmu menganggap tujuan tidak pernah akan ada final. Itulah mengapa aku tidak ingin dituduh mengeluh. Kau pasti tahu maksudku. Banyak hal diluar buku yang menggema pada setiap proses yang kau jalani percaya sajalah, itulah yang membuatmu sekuat sekarang ini.
Jodoh, segala yang sudah kau perjuangkan hakikatnya adalah jodohmu, dua kota besar ini juga jodohmu, pun pertemuan ini, dulu waktu itu dan entah kapan lagi. Jangan pernah lelah mengingatkan bahwa ada banyak PR yang menanti, tentang hakikat mengapa kita sampai di kota ini.
Masih ingatkah dirimu dengan visi misi yang biasa kau teriakkan? Atau sekedar puisi yang kunyanyikan, aku yakin sosokmu akan mampu mengubahnya menjadi realita dimasa depan.
Jakarta, 04 Februari 2017