Aku bersama HAMUR

Sore itu di sekitar perumahan dosen dan gedung pusat studi UGM suasana tampak lengang. Matahari yang belum terlalu condong ke barat membuat udara masih terasa panas. Namun suasana lengang ini tidak nampak lagi ketika memasuki ruangan di gedung Pusat Studi dan Kajian Arkeologi. Puluhan mahasiswa nampak asik berbincang. Mereka duduk lesehan dan melingkar. Panasnya udara, seakan tidak berpengaruh pada sekelompok pemuda-pemudi itu. Suara tawa terus bersahutan di antara perbincangan yang sedang berlangsung. Rupanya mereka sedang saling berbagi pengalaman, berdiskusi ringan soal masalah hidup dan bercerita tentang keluarga masing-masing.

Mereka adalah para penggiat dari komunitas yang menamakan dirinya Hamur. Sebuah perkumpulan dari para mahasiswa yang memiliki latar belakang keluarga kurang harmonis atau sering kita dengar dengan istilah broken home. Di dalam komunitas ini mereka saling berbagi pengalaman, bercerita berbagai masalah terutama masalah pribadi. “Intinya kita di sini saling menyemangati, supaya teman-teman yang broken home itu mempunyai wadah dan tidak menjadi salah arah, misalnya masuk ke pergaulan bebas,” jelas Abdul Jalil dari fakultas Psikologi angkatan 2012 sebagai salah satu pendiri komunitas ini.

Berangkat dari pengalaman pribadi salah satu pendiri, yaitu Dian Yuanita Wulandari, seorang mahasiswa fakultas Kehutanan angkatan 2012, ide pembentukan komunitas ini digagas. Menurut Dian, bagi anak yang berasal dari keluarga broken home, menjalani hidup tidak semudah seperti mereka yang berasal dari keluarga harmonis. Ada dua kemungkinan bagi anak yang hidup di keluarga tidak harmonis. Pertama, anak broken home bisa bertahan dengan kondisi tersebut dan menjalani hidup yang wajar seperti kebanyakan anak-anak lain. Kedua, mereka kurang bisa bertahan dengan keadaan tersebut dan justru melakukan tindakan merugikan, baik untuk dirinya maupun lingkungannya. “Bisa jadi kita akan mengambil jalan yang salah dan membahayakan untuk diri kita sendiri, tetapi menurut kita menyenangkan. Jadi kita berinisiatif untuk membuat forum Hamur ini karena aku ingin berbagi. Selain itu, salah satu terapi buat broken home salah satunya adalah dengan menulis atau bercerita,” tutur Dian.

Awalnya komunitas yang diprakarsai oleh Abil dan Dian diperuntukkan mewadahi mereka yang broken home. “Tujuannya adalah memfasilitasi mereka-mereka yang berlatar belakang broken home supaya bisa bertahan dari tekanan baik keluarga maupun lingkungan. Selain itu juga untuk memotivasi temen-temen supaya tetap berprestasi,” terang Dian.

Saat disinggung perihal nama dan kapan tepatnya komunitas ini berdiri, spontan Abil sedikit tertawa. “Waktu pembentukannya, kita sempat rapat di Pujale. sempat diskusi lama soal itu, tapi akhirnya aku nyetus nama Hamur. Nama Hamur diambil dari kata rumah tetapi di balik. Rumah kalau dibalik bangunannya hancur, dan rontok semua yang ada di dalam rumah tersebut, jadi broken begitu. Soal kapan tepatnya aku lupa, mungkin 14 September,” terang Abil disusul gelak tawanya. Nama tersebut oleh para penggagas dinilai cukup mewakili latar belakang komunitas sehingga disepakati untuk dipakai.

Menurut Abil, pertama-tama komunitas ini mencari anggota dengan cara menyebarkan pesan melalui sosial media. Pesan siaran tersebut berisi ulasan singkat tentang Hamur itu sendiri. Setelah pesan-pesan siaran tersebut direspon baik oleh kalangan mahasiswa UGM mulailah diadakan pertemuan pertama. Sedikit di luar dugaan ternyata peminat komunitas ini cukup tinggi. “Meskipun baru berdiri selama kurang lebih 2 bulan, komunitas ini telah mendapat respon yang positif. Setidaknya ada 50 orang yang tergabung di dalam komunitas Hamur,” tegas Dian. Menurut Dian, mulanya komunitas ini hanya diperuntukkan bagi mahasiswa dari UGM saja. Lama-lama ada dari luar UGM yang ingin bergabung misalnya dari UII, UPN dan UNY. Selain itu ada pula dari daerah Jakarta seperti UI. Semuanya dengan terbuka diterima di Hamur. Melalui sosial media mereka dapat menjangkau para anggota yang jaraknya jauh untuk tetap berkomunikasi, misalnya facebook atau line. Walaupun diperuntukkan bagi mereka dengan latar belakang keluarga yang kurang harmonis, komunitas ini tidak tertutup bagi mereka yang secara latar belakang keluarganya harmonis. “Aku sendiri bukan berasal dari keluarga broken kok. Nanti yang tidak berasal dari keluarga bermasalah bisa memotivasi dan membantu temannya yang punya masalah keluarga” tambah Abil.

Menurut Drs. Hadi Sudarmanto, dosen fakultas Psikologi UGM. Saat diminta memberi tanggapan kepada komunitas ini, beliau mengatakan “Anak-anak broken home itu tidak selalu memiliki prilaku buruk, namun baik juga ketika ada komuitas seperti ini. Saya berharap mereka bisa saling membantu dan mendukung untuk ke arah yang lebih baik. Semoga kegiatan yang ada didalamnya benar-benar bermanfaat,”. Hadi juga menjelaskan bahwa kondisi stress yang dialami korban broken home apabila dikelola dan diatasi secara baik maka akan memiliki dampak positif yang luar biasa. Contohnya dalam memotivasi untuk lebih berprestasi di ranah akademik maupun non akademik.

Dengan adanya anggota yang sudah mencapai 50-an, wajar jika mereka pun membentuk kepengurusan di dalam Hamur. Abil menjelaskan bahwa nantinya kepengurusan itu akan berjalan dengan tujuan mengurus kegiatan-kegiatan serta jalannya komunitas. Sedangkan kaegiatan yang dimaksud sebagian sudah berjalan namun sebagian memang masih merupakan rencana kedepan. “Kita ada leadership, kelas menulis, inspirasi parenting, dan kegiatan lain. Sebisa mungkin dalam satu bulan ada dua kali acara yang kita adakan. Biasanya di perumahan dosen,” jelas Dian. Abil juga menambahkan, bahwa pertemuan rutin dilakukan seminggu sekali untuk kumpul bareng.

Kegiatan pun sudah berjalan perlahan. Namun Hamur belum memiliki sekretariat tetap, baik untuk melakukan kegiatan atau tempat berkumpul. Hamur masih menggunakan salah satu rumah di kompleks perumahan dosen. “Kalau masalah sekretariat tetap itu nanti menysul, yang penting teman-teman ada tempat untuk kegiatan dulu dan bisa berkumpul,” lanjut Abil dengan penuh semangat.

Sebagian besar kegiatan Hamur masih terfokus pada pengembangan mental maupun softskill anggota. Seperti menulis, kepemimpinan, dan public speaking. Itu tampak dari daftar visi serta misi yang mereka jelaskan. Visi Hamur adalah membentuk mereka yang memiliki latar belakang keluarga broken home agar menjadi pribadi matang, unggul, dan menginspirasi. Guna mencapai visi tersebut tentu ada sebuah misi yang di lakukan sebelumnuya. Misi yang mereka jalankan adalah mengembangkan diri sesuai kapabilitas masing-masing.

Dengan visi dan misi yang sudah terbentuk, mereka mengaku tidak terburu-buru ingin menjadikan komunitas ini sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa di UGM. Bagi mereka tidak ada usaha meminta perhatian yang berlebih dari kampus agar diakui sebagai UKM. Namun mereka mengakui keinginan itu ada, walaupun bukan itu yang utama. “Pertama, kita tata dulu komunitas ini dan fokus pada visi misi awal,” bantah Abil ketika di singgung soal pembentukan UKM sebagai langkah utama.

Mereka meyakini komunitas seperti Hamur adalah yang pertama di UGM. Itu menjadi salah satu alasan untuk tidak menyerah mewujudkan cita-cita komunitasnya untuk membantu anak-anak yang broken home. “Kita tahu tantangannya, yang jelas harapannya nanti setidaknya anggota Hamur akan jadi pribadi yang unggul. Bisa lepas dari bayang-bayang keluarga yang tidak harmonis dan mampu saling menginspirasi,” tukas Abil dengan penuh keyakinan. “Broken home bukanlah alasan untuk tidak melanjutkan hidup. Broken home adalah cara Tuhan mendidik kita sebagai pejuang tangguh. So,why we should be broken twice?,” imbuh Dian dengan raut muka penuh keyakinan.[ Ahmad Thovan Sugandi, Megandini Listi Indira]

Posted in Cerita | 2 Comments

Aku, KKN dan Bidikmisi

Mendekati hari-hari pengajuan proposal KKN 2015, saya mulai sibuk dengan berbagai aktifitas untuk menemukan tim pengusul, juga dosen dan daerah tujuan pengabdian saya nantinya. Persiapan semakin padat dan merayap bak praktikum. Termasuk penyusunan anggaran program dan transportasi, saya susun bersama teman-teman dengan rapi. Puluhan hingga ratusan juta biaya yang harus dikumpulkan untuk melaksanakan pengabdian KKN. Wah, jika melihat kayak gini, apakah saya mahasiswa bidikimisi bisa KKN nantinya?
Sebagai mahasiswa bidikmisi, saya cukup bingung dan pusing ketika mendekati hari-hari penentuan wilayah dan tim KKN. Apalagi, di waktu yang sama Ditmawa UGM mengumumkan bahwa mahasiswa penerima bidikmisi tidak akan dibiayai sedikitpun pada KKN 2015. Respon tubuh dan pikiran saya mulai berontak, “Kok bisa jadi seperti ini? Bukanya bidikmisi menanggung setiap biaya kampus, termasuk KKN?” Pikiran dan respon ini langsung saya lemparkan ke sahabat yang saya kenal yakni Abil (Abdul Jalil) yang pada saat bersangkutan menjabat sebagai ketua Dewan Perwakilan Fakultas Kamadiksi. Berbagai tekanan dan saran bahkan kritik saya sampaikan kepadanya, yang menurut saya dia sebagai pengurus Kamadiksi harus mengayomi semua warga bidikmisi UGM. Bahkan saya sebagai warga penerima bidikmisi akan mencoba aksi demo jika tidak disampaikan tuntutan ini. Abdul Jalil sebagai ketua DPF saat itu juga menerima banyak laporan dari warga bidikmisi yang lain. Sebagai seorang pengurus Abdul Jalil menanggapi maksud saya dan kawan-kawan, sehingga beberapa kali ia melakukan audiensi dengan pihak ditmawa. Proses ini saya tunggu-tunggu hasilnya.
Abdul Jalil yang saat itu tidak menjabat sebagai ketua kamadiksi pun, sangat memiliki andil besar dalam proses advokasi. Beberapa kali saya tahu bahwa ia memperjuangkan bagaimana biaya KKN 2015 bagi warga bidikmisi melalui pertemuanya dengan dirmawa dan rektor. Sebagai warga kamadiksi yang bukan pengurus, saya sering memantau bagaimana proses advokasi biaya KKN 2015 ini. Saya merasa bahwa di UGM terdapat 1100 mahasiswa penerima bidikmisi yang pada 2015 ini akan melakukan pengabdian KKN di seluruh Indonesia. Mahasiswa bidikmisi bukanlah anak pengusaha kaya, direktur, pejabat, atau gubernur yang setiap butuh uang dapat minta pada orang tua dan diberi berapapun. Mahasiswa bidikmisi sebagian besar adalah mahasiswa kurang mampu secara ekonomi, yang setiap bulan tidak selalu mendapat kiriman orang tua, bahkan sebagian yang lain kerja untuk dapat nambah uang makan. Bagaimana nasib 1100 mahasiswa ini nantinya? Apakah hanya dibiarkan, dan ditindas oleh pejabat-pejabat yang tidak bertanggung jawab? Proses advokasi Abdul Jalil dan dibantu kawan-kawan kamadiksi merupakan jalan yang ditunggu-tunggu.
Tidak lama berselang, pengumuman kelompok dan lokasi KKN 2015 dilaksanakan. Mahasiswa bidikmisi juga masih memiliki banyak kebingungan terkait hal ini. Peraturan dari LPPM KKN 2015 menyatakan bahwa setiap mahasiswa wajib membayar uang KKN penuh, termasuk peserta bidikmisi. Konsekuensi tidak membayar adalah penundaan KKN pada semester depan. Banyak mahasiswa bidikmisi yang semakin mengeluh akan peraturan ini. Abdul Jalil sebagai ketua DPF Kamadiksi kemudian melakukan proses advokasi kembali terkait hal ini. Lobi-lobi dilakukan terhadap pimpinan ditmawa, kemudian mentok hingga ke rektor. Berbagai tekanan dan tuntutan dilakukan oleh Abdul Jalil dkk, hingga menghasilkan sebuah keputusan ditmawa dan LPPM, bahwa mahasiswa bidikmisi berhak melakukan KKN 2015 dengan belum membayar atau sudah membayar. Akan tetapi nilai KKN tidak keluar sebelum pembayaran dilaksanakan dan dilunasi. Muncul lagi peraturan ditmawa bahwa biaya KKN 2015 untuk mahasiswa bidikmisi akan dibantu sebesar 400ribu rupiah. Kebijakan yang diberikan ditmawa dan LPPM ini adalah hasil beberapa audiensi Abdul Jalil bersama kawan-kawan pembantu di kamadiksi lainya. Menurut saya, hasil ini memberikan angin segar dan dukungan penuh untuk mahasiswa bidikmisi UGM*.
Bagaimana mahasiswa bidikmisi dapat KKN semester genap 2015 dan bantuan biaya tanpa Abdul Jalil dan pengurus kamadiksi lainya?

Warga Bidikmisi KKN 2015,

Oleh Sahlan, Warga Bidikmisi

Posted in Cerita | Leave a comment