ADAB DALAM BERDOA

“Selama kalian tidak-terburu buru dengan mengatakan “Saya sudah berdoa, namun doaku tidak dikabulkan”, maka doa-doa kalian akan terkabul.” (HR. Sunan Abu Dawud)

Allah Swt mendengar dan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya. Namun terkadang Allah Swt menunda dalam memberikan sesuatu yang diinginkan oleh hamba-Nya. Demikianlah seperti doa yang diucapkan oleh Nabi Musa dan Harun As  yang dikabulkan Allah Swt setelah 40 tahun lamanya.

Sebab-sebab tertundanya:

(1) Karena sesuatu yang diinginkan belum datang waktunya, karena segala sesuatu telah ditentukan waktunya. (2) Atau Allah Swt sengaja menundanya karena Dia senang melihat usaha keras hamba-Nya dalam berdoa. (3) Atau juga karena suatu sebab yang hanya Allah Swt  yang mengetahuinya. (4) Terkadang juga karena pahala doanya akan diberikan di akhirat, maka doanya tidak dikabulkan di dunia.

Rasulullah Saw bersabda, “Selama seorang muslim tidak berdoa untuk sebuah dosa atau untuk memutuskan tali silaturrahim, maka Allah Swt akan memberikan salah satu dari tiga hal,

“Allah Swt akan mengabulkan doanya atau mengakhirkan (memberikan) pahala doanya di akhirat, atau Allah Swt akan mengabulkan doanya di akhirat atau bisa juga Allah Swt akan menjauhkannya dari keburukan sebesar doa yang ia panjatkan.”

Maka kami  berkata “kalau begitu kami  akan memperbanyak berdoa.” Dan beliau pun bersabda, “ Allah Swt akan lebih banyak lagi memberikan anugerah-Nya.” Sudah seharusnya seorang hamba memohon kepada Allah Swt. Dan janganlah terburu-buru dalam berdoa kemudian meninggalkannya.

Rasulullah Saw bersabda, “Seorang muslim, selama dia tidak berdoa untuk sebuah dosa atau untuk memutuskan tali silaturrahim dan tidak terburu-buru dalam menunggu terkabulnya doa, maka doanya akan dikabulkan.”

Ketika ditanyakan, “apa yang dimaksud dengan terburu-buru ya Rasulullah?” Maka Rasulullah Saw pun menjawab, “Terburu-buru adalah ketika seorang hamba berkata “aku telah berdoa, aku sudah banyak berdoa, namun doaku tidak dikabulkan.” kemudian dia sedih dan tidak berdoa lagi.”

Posted in Ngaji | Leave a comment

IJMA’ UMMAT

“Aku berdoa kepada Allah swt agar umat ku tidak bersatu dalam kesesatan, Allah saw menerima doaku dan mengabulkan permintaan ku.” (HR. Ahmad)

Wahyu datang kepada Rasulallah Saw dan beliau pun menyampaikan kepada umatnya. Setelah Rasulullah Saw wafat, wahyu tidak akan datang lagi, akan tetapi pada waktu itu banyak dari para sahabat Rasulullah Saw yang telah hafal Al-Quran.

Masalah-masalah atau pun hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran, semuanya diputuskan oleh sunnah Rasul, baik itu sunnah qauli (perkatan-perkatan Rasulullah Saw), sunnah fi’li (perbuatan Rasulullah Saw), ataupun sunnah taqriri (tersenyumnya Rasulullah Saw terhadap seseorang yang melakukan sesuatu dan tidak melarangnya) yang menandakan bahwa Rasulullah Saw  menyetujui sesuatu yang dilakukan orang tersebut.

Akan tetapi pada saat itu, tidak semua sahabat dapat menghafal semua sunnah-sunnah atau hadits-hadits yang disampaikan oleh Rasulullah Saw, karena ada sebagian dari mereka yang pergi melakukan jual beli ke pasar untuk memenuhi kebutuhannya, ada juga yang sibuk bercocok tanam sehingga tidak semuanya bisa terus berada di dekat Rasulullah Saw dan mendengarkan ceramahnya. Mereka hanya bisa datang ke majelis Rasulullah Saw pada waktu-waktu tertentu.

Ketika Rasulullah Saw menjelaskan dan mengajarkan sebuah hukum, para shabat yang hadir pada waktu itu mempelajari dan memahami apa yang Rasulullah Saw sampaikan. Dan mereka pun memberitahukan kepada orang yang tidak hadir pada waktu itu dengan cara sebagian dari mereka memberitahukan hadits yang mereka ketahui kepada yang lainnya, dan mereka pun mempelajari apa yang yang mereka tidak ketahui dari orang yang mengetahuinya.

Bahkan para pembesar sahabat  seperti  Abu Bakar Ash-shidiq, Umar, Usman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Ammar bin Yasir, Hudzaifah bin Yaman, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, Abu Musa Al Asy’ari, Salman Al Farisi (Radhiallahu anhum), pada zaman Rasulullah saw mereka juga memberikan fatwa, tetapi mereka pun terkadang menanyakan hadits yang tidak mereka ketahui dari sahabat yang lain dan mereka bertanya ‘’Apakah kamu mengetahui hadits tentang masalah ini?” , dan ketika mereka menemukan sebuah hadits tentang masalah tersebut, mereka langsung mengamalkannya.

Para sahabat berikhtilaf tentang masalah harta warisan yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw, mereka pun mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ash-shidiq bahwa ‘’Para Rasul tidak meninggalkan harta warisan.’’ Para sahabat apabila mereka tidak menemukan penjelasan dari hadits tentang sebuah hukum, untuk memutuskannya mereka menggunakan qiyas dan ijtihad.

Oleh sebab itu pada abad awal perkembangan islam pintu ijtihad mulai banyak terbuka. Baik para sahabat atau pun para mujtahid, ketika mereka bersepakat dalam sebuah permasalahan, hukum yang terhasil dari kesepakatan mereka tidak ada keraguan di dalamnya, dan kesepakatan para mujtahid itu dinamakan dengan ‘’ijma’ ummat’’. Sehingga ijma’ menjadi landasan hukum ketiga dalam Islam. Landasan hukum islam itu sendiri adalah Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan Qiyas.

Posted in Ngaji | Leave a comment