PEMUDA KEMBALI KE DESA

Sebelum kita berbicara mengenai Lamongan, perlu kita tengok kembali bahwa Indonesia merdeka bukan sekedar nama pengingat keindahan dan kekayaan alam, melainkan kedaulatan negara kesatuan. Seberapa bangga kita dilahirkan sebagai orang Indonesia? Seberapa senang kita dibesarkan di kabupaten Lamongan? Tidak sedikit dari kita sebagai orang Lamongan yang merantau dan tidak kembali ke tanah asal lagi, baik dari segi fisik maupun ide gagasan, bahkan ada juga yang merasa malu ketika orang lain tahu kalau ia berasal dari Lamongan baik karena banjir, bom amrozi, serta kekurangan lain di kelas kabupaten yang belum menjadi kota ini.

Sebesar apa rasa kepemilikan kita terhadap Lamongan, sedang ketika kita sudah sukses diperantauan enggan akan kembali, apalagi ke kampung halaman lagi. Hal seperti ini tidak asing lagi, bukan hanya warga Lamongan saja melainkan warga Indonesia, banyak orang alim atau pintar kemudian ia lalai dan tidak mau kembali ke tempat asalnya baik kelas kota maupun negara, mengapa hal seperti itu terus berlanjut dan beranak pinak, padahal kalaupun kita merantau masih bisa kita gunakan ide, gagasan, sumbangsih materi dan juga pikiran yang bertimbal balik untuk tanah kelahiran kita, ya tinggal pilih saja pulang atau mengabdi dari jauh, tapi dalam faktanya bukan seperti itu.

Dari zaman dulu sampai sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan dan dalam setiap kabangkitan itu pemuda merupakan rahasia kekuatannya. Preseiden RI pertama Ir. Soekarno sebagai tokoh nasionalis kita juga telah melakukan pembenaran terhadap urgensitas pemuda dalam sebuah kebangkitan dengan pernyataannya yang mengatakan bahwa “berikan kepadaku seratus orang tua akan kugoncangkan Indonesia, dan berikan kepadaku sepuluh pemuda saja akan kugoncangkan dunia”. Pernyataan itu sekaligus memberikan pemahaman dan keyakinan kepada kita bahwa pada hakekatnya masa depan suatu bangsa terletak ditangan pemuda.

Aku ingin pulang ke Lamongan, tapi apakah mungkin Lamongan mau menerimaku sebagai warganya, bersedia mendengarkan aspirasi dan mau mencoba menerapkan ide gagasan baru yang kubawa, atau justru akan lebih memilih cari aman, diam dan tidak siap menerima resiko untuk perkembangan serta kemajuan kabupaten yang lebih baik. Seperti halnya layanan publik yang masih jauh dari efisien dan memuaskan sehingga tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah terus menurun sejak 2009.

Pemuda adalah ujung tombak, tapi tidak semua ujung tombak itu lancip karena tidak semua pemuda mengerti dan memahami perannya, padahal perjalanan suatu bangsa dalam konteks peradaban tidak lepas dari lakon gerakan pemuda. Sedangkan gerakan pemuda dimanapun di dunia ini sangat menentukan kemajuan suatu bangsa, karena apabila suatu bangsa memiliki generasi muda yang berkepribadian matang, bertanggungjawab, memiliki kualitas keimanan dan ilmu yang kuat, serta sadar akan jati diri maka dimasa mendatang bangsa inilah yang akan memegang kendali nanti.

Menjadi seorang pemuda di perantauan bukan berarti kita telah meninggalkan tanah kelahiran, justru karena kita merantau akan menemui banyak hal baru yang sekiranya belum ada atau belum diterapkan di Lamongan, baik dari segi pendidikan, infrastruktur, budaya, dan hal positif lainnya yang bisa kita pelajari serta kita jadikan contoh untuk kemajuan kabupaten kita.

Pulang ke tanah kelahiran adalah cara terbaik untuk kembali, karena disana kita bisa terjun secara langsung, bertatap muka serta mengetahui kondisi lapangan yang sesungguhnya, teori ataupun pengalaman yang pernah kita temui diperantauan tidak semuanya bisa kita praktekkan atau kita aplikasikan di daerah kita, hal tersebut untuk mengurangi ketimpangan, kesenjangan dan kesalahan dalam komunikasi perlu adanya kehadiran, keberadaan kita disana.

Hubungan pemuda rantau dan Pejabat Publik perlu dijaga sejak dini, untuk mengantisipasi adanya pemuda yang terkungkung dari dunia isolasi hingga tercabut dari realitas sosial yang melingkupinya. Tidak hanya Pejabat Publik atau Kepala Desa saja yang perlu mengontrol serta memberi dukungan melainkan juga pemuda yang tinggal di daerah tersebut, sebut saja karang taruna, karena sejatinya pemuda itu sebagai jembatan dan berfungsi sebagai social control (kontrol sosial).

Hal terkecil adalah menanyakan kabar, bagaimana perkembangan dan kesibukan di tanah rantau, apakah ada masalah atau hal yang perlu di bantu, serta memberikan informasi kegiatan atau kejadian yang ada di tanah kelahiran. Dari hal sederhana itu akan timbul rasa kepemilikan dan proses menghargai dari tanah kelahiran. Sehingga muncullah feed back adanya kemauan rasa peduli, kembali dan berbagi dari pengalaman, ide, gagsan, ilmu baru yang sekiranya bisa diterapkan di daerah asal.

Bagaimana dengan pemuda rantau yang sudah menikmati pekerjaannya sehingga tidak mau pulang? Disinilah pentingnya sosial kontrol dari dalam (tanah kelahiran), selain status pemuda sebagai sosial kontrol mereka juga perlu di kontrol. Karena tidak sedikit pemuda yang sudah merantau kemudian mengalami kegamangan atas dirinya maupun peran-peran kemasyarakatan yang semestinya diambil. Mereka pun tidak lagi memiliki kesadaran kritis dan bahkan sebaliknya bersikap apolitis. Jika sudah seperti ini, apa yang bisa disumbangkan untuk tanah kelahiran, bagaimana bentuk pengabdian yang akan dilakukan.

Pemuda Lamongan adalah pemuda yang luar biasa, hampir disetiap kota yang ada di Indoensia ini pasti ada orang Lamongan, meskipun keberadaan mereka bukan untuk studi atau kuliah melainkan bekerja, misalkan membuka warung Soto Lamongan, tapi menurut saya keberadaan mereka adalah keberadaan Lamongan.

Kabupaten Lamongan adalah termasuk wilayah yang kecil, akan tetapi pemudanya menyebar diberbagai tempat. Jika hal tersebut diberdayakan tentu akan bisa menjadi aset Bangsa. Dengan adanya soto Lamongan di berbagai daerah akan bisa menyumbang penggunaan makanan lokal dan mengurngi berbagai produk dari luar negeri, itu juga bagian kecil dari kontribusi.

Penghasilan yang di dapatkan juga cukup menghiurkan, jika ada pendataan dari pemerintah dimana saja keberadaan Soto Lamongan dibuka dan berasal dari daerah mana, suatu saat ketika ada momentum atau kegiatan agustusan misalnya bisa diberdayakan untuk berkontribusi secara materi meski tidak ditentukan jumlahnya tentu akan membantu dan meringankan beban acara yang diselenggarakan pemuda di kampung halamannya.

Dimanapun keberadaan kita, apapun status kita, mau tidak mau kita harus bangga menjadi bagian dari warga Lamongan, karena selain dilengkapi dengan berbagai macam kebutuhan pangan di daerah kita, budaya yang mendamaikan kehidupan, Lamongan juga menjadi tempat yang aman dari berbagai ancaman bahaya.

Mengabdi pada Lamongan sama saja membangun Indonesia, sedikit ataupun banyak tetap saja namanya kontribusi. terus bergerak hingga nafas terakhir. Untuk membangun daya saing Kabupaten Pemuda harus kembali ke Desa, baik secara ide, gagasan, ilmu maupun kehadiran secara langsung.

Posted in Diaspora Muda Lamongan | Leave a comment

PINTER KEBLINGER

Sebuah argumen yang menghantam saya kemarin, dalam sebuah orasi di salah satu kota yang disampaikan oleh seorang doktor dengan disaksikan pula oleh panasnya sengatan matahari.
Hari itu argumennya adalah: “Tidak mungkin seorang disebut Ahli atau Alim kalau dia hanya menguasai ilmu fiqih, ilmu usul fiqih tetapi tidak menguasai ilmu hadis, tafsir dan ilmu Aqidah, sebagaimana pula tidak mungkin dikatakan alim ketika dia mengetahui Ilmu Fiqih, Usul, Tafsir, Hadis dan Ilmu Kalam sedangkan dia tidak mumpuni ilmu tata bahasa arab (nahwunya, sorofnya, balaghonya dan sastranya). Sungguh sangat mustahil orang bisa alim tanpa mengetahui bahasa arab, karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kita untuk memahami al-Quran dan as-Sunnah melalui kaidah-kaidah bahasa arab”.

Saya pun jadi kepikiran dan bertanya-tanya
Ini artinya untuk menjadi orang yang Alim, yang utuh keilmuannya alias tidak parsial minimal dituntut untuk mumpuni semua mata kuliah yang terdapat dalam 3 fakultas sekaligus: Usuluddin, Syariah, Bahasa / sastra. Betul tidak? Coba nanti diulang argumennya.
Saya pun tambah bingung, kenapa 3 fakultas tersebut mesti dipisah-pisah?! Kalau satu sama lain tidak boleh dipisahkan! Bukannya kampus Islam didirikan agar bisa mencetak mahasiswa-mahasiswa yang ahli?!
Ni, saya jadi ingat peristiwa 3 tahun yang lalu, ada mahasiswa semester akhir jurusan tafsir-hadis di salah satu kota besar, lewat temannya dia menghubungi saya “Mas mintak bantuan terjemahan, bisa nggak? Nanti saya bayar deh, penting buat skripsi ni.” Waktu itu saya langsung menolak dan kaget masak jurusan tafsir-hadis yang sudah mau lulus masih mintak terjemahin, masak belum bisa baca kitab. Di pesantren kami, umur 11-16 sudah lancar baca kitab loh.

Ini sangat aneh dan patut untuk dikaji ulang. Sejak kapan Ilmu agama dikotak-kotakkan seperti ini. Jurusan ini jurusan itu, ilmu agama ya ilmu agama, mencakup semua yang berhubungan dengan agama.
Saya kok khawatir ini memang …. ah, semoga tidak!!. bisa jadi itu hanya buah dari niat baik yang belum banyak diuji. Hanya saja, tetap ada yang saya sesalkan, mengapa generasi abad 20-21 yang menjadi bahan percobaan?! Hmmmm ….!!!

Para sahabat mahasiswa yang budiman, kalian yang kebetulan kuliah di fakultas-fakultas Islam. Mohon didengarkan. Kita harus paham ya, Masih banyak tugas kita sebagai pewaris para nabi. Kalau kita niat belajar agama, kita pelajari betul-betul makul asasi tiga fakultas tersebut, itu minimal atau syarat mutlak untuk menjadi orang alim. Kalau di kampus sulit didapat, kita datangi pesantren, tambah ilmu kita di sana.
Mungkin ada yang bilang, saya kan harus fokus?! Fakultas tersebut dipisah-pisah agar mahasiswa bisa fokus.
Hemm … ngene-ngene tak kasih tahu. Ingin Fokus itu setelah 3 fakultas tersebut benar-benar kamu pelajari semua, setelah itu pilih keilmuan yang kamu sukai, silahkan! Belum bisa baca kitab kok fokus! Mokusin apa? Paling yang kamu baca ya buku-buku terjemahan. Dadi alim iku ra gampang rek …!!!

Posted in Konten | Leave a comment