“Aku berdoa kepada Allah swt agar umat ku tidak bersatu dalam kesesatan, Allah saw menerima doaku dan mengabulkan permintaan ku.” (HR. Ahmad)
Wahyu datang kepada Rasulallah Saw dan beliau pun menyampaikan kepada umatnya. Setelah Rasulullah Saw wafat, wahyu tidak akan datang lagi, akan tetapi pada waktu itu banyak dari para sahabat Rasulullah Saw yang telah hafal Al-Quran.
Masalah-masalah atau pun hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran, semuanya diputuskan oleh sunnah Rasul, baik itu sunnah qauli (perkatan-perkatan Rasulullah Saw), sunnah fi’li (perbuatan Rasulullah Saw), ataupun sunnah taqriri (tersenyumnya Rasulullah Saw terhadap seseorang yang melakukan sesuatu dan tidak melarangnya) yang menandakan bahwa Rasulullah Saw menyetujui sesuatu yang dilakukan orang tersebut.
Akan tetapi pada saat itu, tidak semua sahabat dapat menghafal semua sunnah-sunnah atau hadits-hadits yang disampaikan oleh Rasulullah Saw, karena ada sebagian dari mereka yang pergi melakukan jual beli ke pasar untuk memenuhi kebutuhannya, ada juga yang sibuk bercocok tanam sehingga tidak semuanya bisa terus berada di dekat Rasulullah Saw dan mendengarkan ceramahnya. Mereka hanya bisa datang ke majelis Rasulullah Saw pada waktu-waktu tertentu.
Ketika Rasulullah Saw menjelaskan dan mengajarkan sebuah hukum, para shabat yang hadir pada waktu itu mempelajari dan memahami apa yang Rasulullah Saw sampaikan. Dan mereka pun memberitahukan kepada orang yang tidak hadir pada waktu itu dengan cara sebagian dari mereka memberitahukan hadits yang mereka ketahui kepada yang lainnya, dan mereka pun mempelajari apa yang yang mereka tidak ketahui dari orang yang mengetahuinya.
Bahkan para pembesar sahabat seperti Abu Bakar Ash-shidiq, Umar, Usman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Ammar bin Yasir, Hudzaifah bin Yaman, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, Abu Musa Al Asy’ari, Salman Al Farisi (Radhiallahu anhum), pada zaman Rasulullah saw mereka juga memberikan fatwa, tetapi mereka pun terkadang menanyakan hadits yang tidak mereka ketahui dari sahabat yang lain dan mereka bertanya ‘’Apakah kamu mengetahui hadits tentang masalah ini?” , dan ketika mereka menemukan sebuah hadits tentang masalah tersebut, mereka langsung mengamalkannya.
Para sahabat berikhtilaf tentang masalah harta warisan yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw, mereka pun mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ash-shidiq bahwa ‘’Para Rasul tidak meninggalkan harta warisan.’’ Para sahabat apabila mereka tidak menemukan penjelasan dari hadits tentang sebuah hukum, untuk memutuskannya mereka menggunakan qiyas dan ijtihad.
Oleh sebab itu pada abad awal perkembangan islam pintu ijtihad mulai banyak terbuka. Baik para sahabat atau pun para mujtahid, ketika mereka bersepakat dalam sebuah permasalahan, hukum yang terhasil dari kesepakatan mereka tidak ada keraguan di dalamnya, dan kesepakatan para mujtahid itu dinamakan dengan ‘’ijma’ ummat’’. Sehingga ijma’ menjadi landasan hukum ketiga dalam Islam. Landasan hukum islam itu sendiri adalah Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan Qiyas.